Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Isti’arah dan Macam-macamnya

via vb.n4hr.com

Majaz Isti’arah (مَجَازُ الْإِسْتشعَرَةِ)

Majaz Isti’arah ialah:
مَجَازٌ علَاقَتُهُ الْمُشَابَهَةُ
(Majaz yang alaqohnya (hubungan) antara makna asal dan makna yang dimaksud ada serupa menyerupai)
Contoh:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ
(Adalah sebuah kitab yang aku turunkan kepadamu, agar engkau memindahkan manusia dari gelap kepada terang).
Yang dimaksud gelap adalah kesesatan, sedang yang dimaksud dengan terang adalah petunjuk (kebenaran). Jelas pada kedua kata ini ada majaz karena tidak dimaksud makna aslinya. ‘Alaqoh antara kedua makna asli dengan makna yang dimaksud adalah serupa menyerupai yaitu pengertian sesat dengan gelap, dan antara pengertian kebenaran dan terang. Itulah majaz isti’arah.
Pada hakikatnya, majaz isti’arah itu adalah tasybih yang dibuang salah satu thorofainnya dan dibuang pula wajah syabah dan adatuttasybihnya. Perbedaannya dalam isti’arah ini, musyabbah dinamai musta’ar lah; musyabbah bih dinamai musta’ar minhu. Lafadz yang di dalamnya mengandung isti’arah dinamai musta’ar. Wajah dinamai jami’.

Macam-macam Isti'arah

Majaz Isti'arah ditinjau dari mustaarlah dan mustaar minhu terbagi dua bagian:
  1. Isti'arah Mushorrohah (الإستعارة المصرحة)
  2. Isti'arah Makniyyah (الإستعارة المكنية)
Isti'arah Mushorrohah adalah ditashrihkan (ditegaskan) musta'ar minhunya dan dibuang musta'arlahnya. Dengan kata lain; disebut musyabbah bih dan dibuang musyabbah.
الْإِسْتِعَارَةُ الْمُصَرَّحَةُ مَا صُرِّحَ فِيْهَا بِلَفْظِ الْمُشَبَّهِ بِهِ
Contoh:
فَأَمْطَرَتْ لُؤْلُؤًا مِنْ نَرْجِسٍ وَسَقَتْ * وَرْدًا وَعَضَّتْ عَلَى الْعِنَابِ بِالْبَرَدِ
(Lalu ia (perempuan) menghujankan mutiara dari bunga bawang bawang merah, dan ia menyiram bunga mawar dan menggigit anggur dengan es).
Maksudnya: ia mencurahkan air mata yang seperti mutiara, dari matanya yang indah seperti bunga bawang merah (berwarna biru) dan dengan air mata yang berjatuhan ia menyiram pipinya yang halus seperti bunga mawar sambil menggigit jari seperti anggur dengan gigi yang putih laksana es.
“Ia menghujankan mutiara”; yang disebut di sini adalah kata mutiara (lukluk), sedang yang dimaksudkan adalah air mata yang seperti mutiara. Karenanya, maka jelas yang disebut di sini musta’ar minhu. Dan isti’arah yang seperti ini disebut isti’arah “Mushorrohah”. Begitu pula kalimat seterusnya pada syair tersebut di atas.
Cara mentaqrir isti’arah mushorrohah sebagai berikut:
شُبِّهَ الدَمْعُ بِاللُؤْلُؤِ بِجَامِعِ اللُمْعَانِ فِى كُلٍّ. ذُكِرَ المُشَبَّهُ بِهِ وَهُوَ اللُؤْلُؤ, وَحُذِفَ الْمُشَبَّهُ وَهُوَ الدَّمْعُ. عَلَى طَرِيْقَةِ الْإِسْتِعَارَةِ الْمُصَرَّحَةِ.
(Air mata diserupakan dengan mutiara karena sama-sama mengkilap. Musyabbah bih disebut, yaitu kata mutiara. Musyabbah dibuang, yaitu air mata mengikuti jalan Isti’arah mushorrohah).
Isti’arah makniyyah ialah sebaliknya Isti’arah Mushorrohah; yaitu:
مَا حُذِفَ مِنْهَا الْمُشَبَّهُ بِهِ وَرُمِزَ إِلَيْهِ بِشَيْئٍ مِنْ لَوَازِمِهِ.
Yang dibuang musyabbah bih dan dapat diketahui dari kelaziman kata-kata yang terkandung di sana. Contoh seperti kata Hujjaj bin Yusuf dalam salah satu pidatonya:
إِنِّيْ لِأَرَىْ رُؤُوْسًا قَدْ أَيْنَعَتْ وَ حَأْنَ قَطَأْفُهَا وَإِنِّي لَصَاحِبُهَا
(Sungguh aku melihat kepala-kepala yang sudah “ranum” dan sudah cukup dipetik dan akulah pemiliknya)
“Kepala-kepala yang sudah ranum”; dari perkataan “sudah ranum” kita dapat mengetahui bahwa Hujjaj menyamakan kepala dengan buah-buahan. Di sini hanya disebut musta’ar lah saja yaitu “kepala”, sedang musta’ar minhu tidak ada, hanya diisyaratkan dengan kata ranum di mana kelaziman dari kata tersebut adalah buah-buahan. Kata “buah-buahan sebagai musta’ar minhu di buang.
Contoh Mentaqrir Isti’arah Makniyyah
شُبِّهَتِ الرُؤُوْسُ بِالثِّمَارِ بِجَامِعِ الشَكْلِ فِيْ كُلٍّ. ذَكِرَ الْمُشَبَّهُ وَهُوَ الرُؤُوْسُ, وَحُذِفَ المُشَبَّهُ بِهِ وَهُوَ الثِّمَارُ, وَرُمِزَ إِلَيْهِ بِشَيْئٍ مِنْ لَوَازِمشهِ وَهُوَ الْإِيْنَاعُ. عَلَى طَرِيْقَةِ الْإِسْتِعَارَةِ الْمَكْنِيَّةِ.
(Kepala diserupakan kepada buah-buahan pada segi bentuk, musyabbah disebut, yaitu kepala, sedangkan Musyabbah bih dibuang, yaitu buah-buahan dan diisyaratkan kepadanya dengan salah satu kelazimannya yaitu kata ranum; menurut jalan isti’arah makniyyah).
Majaz Isti’arah ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi dua;
1. Isti’arah Ashliyyah (الإستعارة الأصلية)
2. Isti’arah Tabaiyyah (الإستعارة التبعية)
Isti’arah Ashliyyah ialah:
مَا كَانَ الْمُسْتَعَارُ فِيْهَا إِسْمًا غَيْرَ مُشْتَقٍّ
(Isti’arah lafadz musta’arnya isim jamid bukan musytaq (bukan isim sifat).
Contoh Ashliyyah dari Mushorrohah:
حَمِلْتُ إِلَيْهِ مِنْ لِسَانِىْ حَدِيْقَةً * سَقَاهَا الْحِجَا سَقْيَ الرِّيَاضَ السَّحَائِبِ
(Aku bawa kepadanya sebuah “taman” dari lidahku yang disiram dengan akal seperti mega menyiram kebun).
Yang dimaksud taman di sini ialah syair yang indah laksana taman. Isti’arah di sini Mushorrohah sebab yang disebut adalah musyabbah bih yaitu kata “hadiqoh”, juga ashliyyah karena kata “hadiqoh” itu isim jamid (bukan kata sifat). Jadi namanya “Isti’arah Mushorrohah Ashliyyah”.
Contoh mentaqrir Isti’arah Mushorrohah Ashliyyah
شُبِّهَ الشِّعْرُ بِالْحَدِيْقَةِ, بِجَامِعِ الْجَمَالِ فِىْ كُلٍ. ذُكِرَ الْمُشَبَّهُ بِهِ وَهُوَ الْحَدِيْقَةُ, وَحُذِفَ الْمُشَبَّهُ وَهُوَ الشِّعْرُ. عَلَى طَرِيْقَة الإستعارة المُصَرَّحَةِ الأَصْلِيَّةِ.
Contoh Ashliyyah dari Makniyyah:
عَضَّنَا الدَهْرُ بِنَا بِهِ * لَيْتَ مَا حَلَّ بِنَا بِهِ
(Jaman telah menggigit kami dari taringnya; mudah-mudahan menimpa kami ada juga padanya).
Jaman diserupakan dengan binatang buas. Musyabbah bih dibuang, yaitu binatang namun diisyaratkan dengan suatu kelazimannya yaitu kata “taring”. Karenanya maka Isti’arah disini Makniyyah, tetapi juga Ashliyyah karena lafadznya jamid.
Cara mentaqrir Isti’arah Makniyyah Ashliyyah:
شبح الدهر بالحيوان المفترس, بجامع الإيذاء فى كل. ذكر المشبه وهو الدهر, وحذف المشبه به وهو الحيوان المفترس, ورمز إليه بشيئ من لوازمه وهو العض. على طريقة الإستعارة المكنية الأصلية.
Isti’arah Tabaiyyah ialah:
مَا كَانَ الْمُسْتَعَارُ فِيْهَا فِعْلًا أَوْ إِسْمًا مُشْتَقًّا أَوْ حَرْفًا
(Isti’arah lafadz musta’arnya fi’il, isim musytaq atau harf).
Contoh Tabaiyyah dari Mushorrohah:
(1) Dari Fi’il:
عَضَّنّا الدَهْرُ
(Jaman telah menggigitku dengan taringnya)
Arti kata “adl-dlo” yang asal ialah menggigit; sedang yang dimaksud “menyakiti”. Jelas namanya isti’arah Mushorrohah, juga Taba’iyyah karena adanya pada fi’il.
(2) Dari Isim Musytaq:
حَالِىْ نَاطِقَةٌ بِأَحْزَانِىْ
(Keadaanku mengucapkan kesedihanku).
Yang dimaksud “mengucapkan” ialah menunjukkan. Namanya Isti’arah Mushorrohah Tabaiyyah karena ada pada isim musytaq.
(3) Dari Harf:
لَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِىْ جُذُوْعِ النَحْلِ
(Sungguh aku akan menyalibmu di “dalam” cabang pohon kurma”).
Yang dimaksud ialah di atas pohon kurma. Jadi Mushorrohah juga Tabaiyyah, karena adanya pada harf.
Contoh Tabaiyyah dari Makniyyah:
أَعْجَبَنِىْ إِرَاقَةُ الضَّارِبِ دَمَ الْبَاغِىْ
(Aku dikejutkan oleh si pembunuh mengalirkan darah pemberontak).
Pukulan keras diserupakan dengan pembunuhan. “Yang” disebut di sini kata “pukulan” sebagai musyabbah, sedangkan kata “bunuh” sebagai musyabbah bih tidak disebutkan hanya diisyaratkan dengan kata kelazimannya yaitu “mengalirkan darah”. Isti’arah pada kalimat ini Makniyyah. Karena ada pada isim musytaq dinamai pula tabaiyyah. Dengan lengkap namanya: Isti’arah Makniyyah Tabaiyyah.
Majaz Isti’arah ditinjau dari kata yang mengikutinya terbagi tiga yaitu:
  1. Isti’arah Murosy-syahah (الإسْتِعَارَةُ المُرَشَّحضةُ)
  2. Isti’arah Mujarrodah (الإِسْتِعَرَةُ المُجضرَّدَةُ)
  3. Isti’arah Muthlaqoh (الإِسْتِعَرَةُ الْمُطْلَقَةُ)
Isti’aroh Murosy-syahah ialah yang diikuti dengan kata yang cocok dengan Musyabbah bih.
Contoh:
أُوْلَآئِكَ الّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بالهُدَىفما ربحَتْ تِجَارَتُهُم
(Mereka itu orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk; maka tidak beruntung dagangannya).
Yang dimaksud membeli adalah menukar yang diserupakan dengan membeli. Kata “tidak beruntung dagangannya” pantas dan cocok sekali dengan musyabbah bih yaitu kata “membeli”.
Isti’arah Mujarrodah ialah: yang disertai kata yang cocok bagi musyabbah.
Contoh:
فِىْ بَيْتِيْ أَسَدٌ يُصْلِحُ دَرَّاجَتَهُ
(Dirumahku ada singa yang sedang memperbaiki sepedanya).
Maksudnya ada orang yang berani seperti singa. Kata “memperbaiki sepeda” pantas dan cocok bagi musyabbah yaitu orang yang berani. Isti’arah seperti ini dinamakan Mujarrodah.
Muthlaqoh ialah yang tidak diikuti kata yang cocok dan pantas, baik bagi musyabbah bih maupun musyabbah. Umpamanya:
يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ اللّهِ
(Mereka membuka janji Allah)
Maksudnya ialah menyalahi yang diserupakan dengan membuka tali. Di sini tidak diikuti kata yang cocok dengan musyabbah bih maupun musyabbah.
Catatan:
Baik Tarsyih, Tajrid maupun Ithlaq, tidak bisa diperhitungkan sebelum adanya Qorinah (tanda-tanda) Isti’arah yang lengkap.
القواعد:
الإِسْتِعَارَةُ المُرَشَّحَةُ مَا ذُكِرَ مَعَهَا مثلَائِمُ المُشَبَّهِ بِهِ
الإِسْتِعَارَةُ المُجَرَّدَةُ مَا ذُكِرَ مَعَهَا مثلَائِمُ المُشَبَّهِ
الإِسْتِعَارَةُ المُطْلَقَةُ مَا خَلَتْ مِنْ مُلَائِمَاتِ المُشَبَّهِ بِهِ أَوِ الْمُشَبَّهِ.[1]
Isti’arah Tamtsiliyah (
استعارة تمثيلية)
Peribahasa dalam pembahasan bahasa dan sastra Arab dikenal dengan istilah isti’arah tamtsiliyah. Isti’arah tamtsiliyah merupakan penggunaan kalimat yang tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Sesuai dengan ulasan di atas maka Peribahasa itu sendiri:
a. Ada yang bersifat universal artinya bila susunan dan maksudnya sama seperti:
1) Cinta buta (الحب أعمى)
2) Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tak berbuah
(العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر)
3) Dan lain-lain
b. Ada yang bersifat lokal. Maksudnya sama, tetapi peribahasanya berbeda seperti untuk menyampaikan Nasihat agar bersiap-siap dalam menghadapi masalah yang besar.
1) Dalam peribahasa Indonesia dikenal ungkapan “sedia payung sebelum hujan”.
2) Dalam peribahasa Arab ada istilah (قبل الرماء تملأ الكنائن) “Sebelum memanah penuhi dulu busurnya”.
c. Sepadan. Maksudnya sama tetapi peribahasanya hampir sama. Contohnya untuk mengatakan bahwa hasil usaha seseorang sesuai dengan usahanya.
1) Dalam peribahasa Indonesia diungkapkan dengan: “Siapa yang menanam dia yang menuai.
2) Dalam peribahasa Arab juga dikenal ungkapan:
أنت تحصد ما زعرت, anda akan menuai dengan apa yang anda tanam,bukan من يزرع, تحصد.
Perlu dipahami bahwa peribahasa ini merupakan pemaknaan sebuah kalimat atau uslub. Bukan “kata” sebagaimana pada ungkapan tasybih. Jadi, makna yang dimaksud adalah makna yang berada di luar kalimat itu sendiri.
Pengertian itu juga dikemukakan oleh Ali Jarim:
استعارة تمثيلية : التركيب استعمل في غير ما وضع له لعلاقة المشابهة مع قرينة مانعة من إرادة معناه الأصلي.
Isti’arah Tamtsiliyah adalah makna ungkapan yang digunakan bukan menurut yang seharusnya disebabkan ada qarinah yang melarang dari arti yang sesungguhnya.[2]
Contoh-contoh:
a.
عَادَ السَّيْفُ إِلَى قِرَابِهِ, وَ حَلَّ اللَّيْثُ مَنِيْعُ غَابِهِ.
Pedang itu telah kembali ke sarungnya, dan singa itu menempati sarangnya di hutan.
b. Al-Mutanabbi berkata:
وَمَنْ يَكُ ذَا فَمٍ مُرٍّ مَرِيْضٍ # يَجِدْ مُرًّا بِهِ الْمَاءَ الزُّلَالَا
Barang siapa merasa pahit mulutnya karena sakit, niscaya air yang tawar terasa pahit olehnya.
c.
قَطَعَتْ جَهِيْزَةُ قَوْلَ كُلِّ خَطِيْبٍ.
Jahizah mematahkan pembicaraan setiap pembicara.
(Bagi orang yang menyampaikan kata-kata keputusan)
Pembahasan
Ketika seoarang laki-laki yang habis bekerja pulang ke negaranya, maka ia bukanlah pedang hakiki yang kembali ke sarungnya dan bukan singa hakiki kembali ke sarangnya. Dengan demikian, kedua susunan kalimat itu tidak dipergunakan dalam arti yang hakikat, sehingga kedua kalimat itu adalah majaz. Qarinahnya adalah haliyah. Hubungan antara kedua makna hakiki dan majazinya, adalah musyaabahah (keserupaan) karena orang yang pergi jauh dari negaranya untuk bekerja keras dan kembalinya ke negara-negaranya setelah lama bersusah payah diserupakan dengan pedang yang terhunus dari sarungnya untuk berperang dan setelah mendapatkan kemenangan, ia akan kembali ke sarungnya. Demikian pula perihal singa yang menempati sarangnya.
Bait Al-Mutanabbi menunjukkan makna yang hakiki, bahwa orang yang sakit dan mulutnya berasa pahit ketika ia minum air bening yang tawar, maka olehnya terasa pahit. Namun, ia tidak menunjukkan makna demikian, melainkan ditujukan kepada orang-orang yang mencela syair-syairnya karena mereka tidak memiliki bakat suka syair. Jadi, susunan kalimat tersebut adalah majazi dengan kaitan makna adanya keserupaan. Musyabbah-nya adalah keadaan orang mencela syair, dan musyabbah bih-nya adalah keadaan orang sakit yang mendapatkan rasa pahit terhadap air bening dan tawar.
Contoh ketiga adalah peribahasa orang Arab Badui. Asalnya adalah suatu kaum berkumpul untuk bermusyawarah dan berpidato dalam rangka mendamaikan dua suku yang bersitegang karena salah seorang dari suku satu membunuh seseorang dari suku lainnya. Dalam keadaan demikian, datanglah seorang wanita yang bernama Jahizah, lalu menjelaskan kepada mereka bahwa keluarga terbunuh telah menemukan pembunuhnya dan telah mengqishashnya. Maka berkatalah salah seorang di antara mereka.
قَطَعَتْ جَهِيْزَةُ قَوْلَ كُلِّ خَطِيْبٍ.
Jahizah mematahkan argumen setiap pembicara.
Selanjutnya kalimat ini menjadi peribahasa dalam setiap forum yang mengeluarkan kata-kata keputusan (penjelasan yang argumentatif).[3]

Referensi:
[1]Wahab Muhsin, Pokok-pokok Ilmu Balaghah, (Bandung: Penerbit Agkasa 1991) hlm. 47-59
[2]Zuriyati, Suplemen Pembelajaran Bayan dan Badia’ Berbasis Kontekstual, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016) hlm. 63-65
[3] Ali Al-Jarim & Musthofa Amin, Terjemahan Al-Balaghatul Waadhihah, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 1994) hlm. 131-132

1 komentar untuk "Isti’arah dan Macam-macamnya"